Selasa, 19 April 2011

STRESS

Istilah stres dikemukan oleh Hans Selye (dalam Sehnert, 1981) yang mendefinisikan stres sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tuntutan yang dikenakan padanya. Dengan kata lain istilah stres dapat digunakan untuk menunjukkan suatu perubahan fisik yang luas yang disulut oleh berbagai faktor psikologis atau faktor fisik atau kombinasi dari kedua faktor tersebut. Stres tidak saja kondisi yang menekan seseorang atau keadaan fisik atau psikologis seseorang maupun reaksinya terhadap tekanan tadi, akan tetapi stres adalah keterkaitan antar ketiganya

(Prawitasari, 1989). Sarafino (1994) mencoba mengkonseptualsasikan ke dalam tiga pendekatan, yaitu stimulus, respon, dan proses.

  • Stimulus
Kita dapat mengetahui hal ini dari pilihan seseorang terhadap sumber atau penyebab ketegangan berupa keadaan atau situasi dan peristiwa tertentu. Keadaan dan peristiwa yang dirasakan mengancam atau membahayakan yang menghasilkan perasaan tegang disebut sebagai stresor.

  • Respons
Respon adalah reaksi seseorang terhadap stresor. Untuk itu dapat diketahui dari dua komponen, yaitu komponen psikologis dan komponen fisiologis. Komponen psikologis berupa perilaku, pola pikir, dan emosi. Komponen fisiologis berupa detak jantung,keringat, dan sakit perut. Kedua respon tersebut dengan strain atau ketegangan.
  • Proses
Stres sebagai suatu proses terdiri dari stresor dan strain ditambah dengan satu dimensi hubungan antara manusia dan lingkungan. Proses ini melibatkan interaksi dan penyesuaian diri yang kontinyu, yang disebut juga dengan istilah transaksi antara manusia dan lingkungan, yang didalamnya termasuk perasaan yang dialami bagaimana orang lain merasakannya.




Model- model stress
Cox (dalam Crider dkk., 1983) mengemukakan tiga model pendekatan stres, yaitu Respon-based model, Stimulus-based model, dan Interactional model.
  • Respon-based Model
Stres model ini merupakan sebagai kelompok gangguan kejiwaan dan respon-respon psikis yang timbul pada situasi sulit. Model ini mencoba untuk mengidentifikasikan pola-pola kejiwaan dan respon-respon kejiwaan yang diukur pada lingkungan sulit. Suatu pola atau sekelompok dari respon disebut sebuah sindrom. Pusat perhatian dari model ini adalah sebagaimana stresor yang berasal dari peristiwa lingkungan yang berbeda-beda dapat menghasilkan respon stres yang lama.
  • Stimulus-based Model
stres model ini memusatkan perhatian pada sifat-sifat stimulus stres. Tiga karakteristik dari stimulus stres adalah overload, conflict, dan uncontrollability. Overload adalah karakteristik ini dapat diukur ketika sebuah stimulus datang secara intens dan individu tidak dapat mengadaptasi lebih lama lagi. Conflict diukur ketika sebuah stimulus secara simultan membangkitkan dua atau lebih respon-respon yang tidak berkesesuaian. Situasi-situasi bersifat ambigu, dalam arti stimulus tidak diperhitungkan kecenderungan respon yang wajar. Uncontrollabiality adalah peristiwa-peristiwa dari kehidupan yang bebas pada perliaku dimana pada situasi ini menunjukkan tingkat stress yang tinggi.
  • Interactional Model
Model ini merupakan perpaduan dari respon-based model dan stimulus-based model. Ini mengingatkan bahwa dua model terdahulu membutuhkan tambahan informasi mengenai motif-motif individual dan kemampuan mengatasi. Pendekatan interaksional beranggapan bahwa keseluruhan pengalaman stres dalam beberapa situasi akan tergantung pada keseimbangan antara stresor, tuntutan dan kemampuan mencoping. Stres dapat menjadi tinggi apabila ada ketidakseimbangan antara dua faktor, yaitu ketika tuntutan melampaui kemampuan mengcoping. Stres dapat menjadi rendah apabila kemampuan coping melebihi tuntutan.


Jenis stress
Holahan (1981) menyebutkan jenis stres yang dibedakan menjadi dua bagian, yaitu systemic stress dan psychological stress. Systemic stress didefinisikan oleh Selye (dalam Holahan, 1981) sebagai respon non spesifik dari terhadap beberapa tuntutan lingkungan. Ia menyebut kondisi-kondisi pada lingkungan yang menghasilkan stres, misalnya racun kimia sebagai stresor. Psychological stress terjadi ketika individu menjumpai kondisi lingkungan yang penuh stres sebagai ancaman yang kuat menantang atau melampaui kemampuan copingnya (Lazarus dalam Holahan, 1981).
Sebuah situasi dapat terlihat sebagai suatu ancaman dan berbahaya secara potensial apabila melibatkan hal yang memalukan, kehilangan harga diri, kehilangan pendapatan, dan seterusnya (dalam Heimstra dan Farlling, 1978). Hasil penelitian dari Levy dkk. (1984) ditemukan bahwa stres dapat ditimbulkan dari kondisi-kondisi yang bermacam-macam, seperti di tempat kerja, di lingkungan fisik dan kondisi sosial. Stres yang timbul dari kondisi sosial bisa saja dari lingkungan rumah, sekolah maupun tempat kerja.



Dalam mengulas dampak lingkungan binaan terutama bangunan terhadap stres psikologis, Zimring (dalam Prawitasari, 1989) mengajukan dua pengandaian. Yang pertama, stres dihasilkan oleh proses dinamik ketika orang berusaha memperoleh kesesuian antara kebutuhan-kebutuhan dan tujuan dengan apa yang disajikan oleh lingkungan. Proses ini dinamik karena kebutuhan-kebutuhan individual sangat bervariasi sepanjang waktu dan berbagai macam untuk masing-masing individu dan cara penyesuaiannya pun bermacam-macam tiap masing-masing individu.
Pengandaian kedua adalah bahwa variabel transmisi harus diperhitungkan bila mengkaji stres psikologis yang disebabkan oleh lingkungan binaan, misalnya perkantoran, status, anggapan tentang control, pengaturan ruang dan kualitas lain dapat menjadi variabel transmisi yang berpengaruh pada pandangan individu terhadap situasi yang dapat dipakai untuk menentukan apakah situasi tersebut menimbulkan stres atau tidak.
Fontana (1989) menyebutkan bahwa stres lingkungan berasal dari sumber yang berbeda-beda seperti tetangga yang ribut dan kecemasan financial atas ketidakmampuan membayar pengeluaran-pengeluaran rumah tangga.

Singer dan Baum (dalam Evans, 1982) mengartikan stres lingkungan dalam tiga faktor, yaitu :
1.Stresor fisik (misalnya suara)
2.Penerimaan individu terhadap stresor yang dianggap sebagai ancaman (appraisal of the stressor)
3.Dampak stresor pada organism (dampak fisiologi)
Fontana (1989) menyebutkan bahwa sumber utama dari stres di dalam dan di sekitar rumah adalah sebagai berikut :
1.Stres karena teman kerja (partner)
2.Stres karena anak-anak
3.Stres karena pengaturan tempat tinggal setempat
4.Tekanan-tekanan lingkungan



Peran Stres dalam Memahami Hubungan Manusia dengan Lingkungan
Menurut Veitch dan Arkkelin (1995), stres dicirikan sebagai proses yang membuka pikiran kita, sehingga kita akan ketemu dengan stresor, menjadi sadar akan bahaya, memobilisasi usaha kita untuk mengatasinya, mendorong untuk melawannya, serta yang membuat kita berhasil atau gagal dalam beradaptasi.
Ketika tidak mengalami stres, individu umumnya menggunakan banyak waktunya untuk mencapai keseimbangan dengan lingkungannya. Bahkan suatu stres terkadang tidak terkait dengan masalah ketidakseimbangan (disekuilibrium). Dimana lingkungan menyajikan tantangan yang terlalu besar atau individual dapat menghilangkannya dengan kemampuan coping behavior. Di pihak lain, individu juga dapat mengalami keduanya. Pada kondisi inilah terjadi disekuilibrium, yang bergantung dari proses-proses fisik, psikologis, dan fisiologis.
Kita akan mencoba menguraikan kondisi-kondisi dimana hal tersebut akan terjadi mencermatinya pada individu-individu yang dipengaruhi. Pada akhirnya kita dapat menyarankan cara-cara pencegahan terhadap stres dan pengaruh yang merugikan. Sehingga kedua hal tersebut dapat diasumsikan untuk dapat kita hindari.



Prabowo, hendro.1998.Pengantar Psikologi Lingkungan.Jakarta.Gunadarma.

Privasi

Kerahasiaan pribadi (Bahasa Inggrisprivacy) adalah kemampuan satu atau sekelompok individu untuk mempertahankan kehidupan dan urusan personalnya dari publik, atau untuk mengontrol arus informasi mengenai diri mereka. Privasi kadang dihubungkan dengan anonimitas walaupun anonimitas terutama lebih dihargai oleh orang yang dikenal publik. Privasi dapat dianggap sebagai suatu aspek dari keamanan.
Hak pelanggaran privasi oleh pemerintahperusahaan, atau individual menjadi bagian di dalam hukum di banyak negara, dan kadang, konstitusi atau hukum privasi. Hampir semua negara memiliki hukum yang, dengan berbagai cara, membatasi privasi, sebagai contoh, aturan pajak umumnya mengharuskan pemberian informasi mengenai pendapatan. Pada beberapa negara, privasi individu dapat bertentangan dengan aturan kebebasan berbicara, dan beberapa aturan hukum mengharuskan pemaparan informasi publik yang dapat dianggap pribadi di negara atau budaya lain.
Privasi dapat secara sukarela dikorbankan, umumnya demi keuntungan tertentu, dengan risiko hanya menghasilkan sedikit keuntungan dan dapat disertai bahaya tertentu atau bahkan kerugian. Contohnya adalah pengorbanan privasi untuk mengikut suatu undian atau kompetisi; seseorang memberikan detil personalnya (sering untuk kepentingan periklanan) untuk mendapatkan kesempatan memenangkan suatu hadiah. Contoh lainnya adalah jika informasi yang secara sukarela diberikan tersebut dicuri atau disalahgunakan seperti pada pencurian identitas.

  • Faktor Pengaruh Privasi
Terdapat faktor yang mempengaruhi privasi yaitu faktor personal, faktor situasional dan faktor budaya.
Faktor Personal. Marshall (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa perbedaan latar belakng pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Sementara itu Walden dan kawan-kawan (dalam Gifford, 1987) menemukan adanya perbedaan jenis kelamin dalam privasi. Dalam hubungan privasi , subjek pria lebih memilih ruangan yang berisi dua orang, sedangkan wanita tidak mempermasalahkan keadaan dalam dua ruangan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa wanita merespon lebih baik daripada pria bila dihadapkan pada situasi dengan kepadatan yang lebih tinggi.
Faktor Situasional. Beberapa hasil penelitian privasi dalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang didalamnya untuk menyendiri (Gifford, 1987).
Penelitian Marshall (dalam Gifford, 1987) tentang privasi dalam rumah tinggal, menemukan bahwa tinggi rendahnya di dalam suatu rumah antara lain disebabkan oleh seting rumah. Seting rumah berhubungan dengan orang, jarak antar rumah dan banyaknya tetangga di sekitar rumah.
Faktor Budaya. Penemuan dari beberapa peneliti tentang privasi dalam berbagai budaya (seperti Patterson dan Chiswick pada suku Iban di Kalimantan, Yoors pada orang Gypsy dan Geertz pada orang Jawa dan Bali) memandang bahwa tiap-tiap budaya tidak diketemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi (Gifford, 1987). Tidak terdapat keraguan bahwa perbedaan masyarakat menunjukan variasi yang besar dalam jumlah privasi yang dimiliki anggotanya.


  • Pengaruh Privasi Terhadap Perilaku
    Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari perilaku yang penting adalah untuk mengatur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan sosialnya. Bila seseorang mendapatkan privasi seperti yang diinginkannya, maka ia akan mengatur kapan harus berhubungan dengan orang lain dan kapan harus sendiri.
    Selain itu, privasi juga berfungsi mengembangkan identitas pribadi, yaitu mengenal dan menilai diri sendiri (Altman, 1975; Sarwono, 1992; Holahan, 1982). Proses mengenal dan menilai diri sendiri tergantung pada kemampuan untuk mengatur sifat dan gaya interaksi sosial dengan orang lain. Bila kita dapat mengontrol interaksi dengan orang lain, kita akan memberikan informasi yang negatif tentang kompentensi pribadi kita (Holahan, 1982) atau akan terjadi ketelanjangan sosial dan proses deindividuasi Sarwono, 1992).
    Dari beberapa pendapat diatas, dapat diambil suatu rangkuman bahwa fungsi psikologis dari privasi dapat dibagi menjadi, pertama privasi memainkan peran dalam mengelola interaksi sosial yang kompleks di dalam kelompok sosial; kedua, privasi kesadaran memilih dan kemerdekaan dari pengaruh orang lain.
    Suatu penelitian tentang desain rumah menunjukkan bahwa pembatas yang menghalangi pandangan orang lain akan mengurangi pengaruh orang tersebut, sementara pembatas yang tidak menutupi pandangan (misalnya panel tembus pandang) tidak mengurangi pengaruh orang lain (Fisher dkk., 1984).

  • Privasi dalam Konteks Budaya
    Menurut Altman (1975), “ruang keluarga” didalam rumah pada rumah-rumah di daerah pinggiran Amerika Serikat umumnya dijadikan tempat untuk berinteraksi sosial dalam keluarga. Selama ini kita terpaku bahwa suatu desain tertentu memiliki fungsi tunggal, sebagai untuk ruang berinteraksi secara terbatas atau sebaliknya secara berlebihan.
    Oleh karena itu, untuk mencapai privasi yang berbeda kita harus pergi ke suatu tempat lain. Kita tidak pernah berpikir untuk memiliki ruang yang sama untuk beberapa fungsi serta dapat diubah sesuai dengan kebutuhan kita. Untuk berubahnya kebutuhan, kita tidak perlu mengubah tempat. Prinsip ini telah dipakai oleh orang Jepang, dimana di dalam rumah, dinding dapat dipindah-pindahkan ke luar dan ke dalam ruangan. Satu area yang sama kemungkinan dapat difungsikan untuk tempat makan, tempat tidur, dan interaksi sosial dalam waktu yang berbeda. Logikanya adalah bahwa penggunaan lingkungan yang mudah diubah-ubah adalah cara agar lingkungan tersebut fleksibel terhadap perubahan kebutuhan privasi.

Prabowo, hendro.1998.Pengantar Psikologi Lingkungan.Jakarta.Gunadarma.

Teritorialitas dan Perbedaan Budaya

Studi yang dilakukan oleh Smith (dalam Gifford, 1987) tentang penggunaan pantai orang-orang Prancis dan Jerman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan pantai antara orang-orang Perancis dan Jerman membuktikan sesuatu yang kontras. Smith menemukan bahwa kedua Negara ini memiliki kesamaan dalam hal respek. 


Prabowo, hendro.1998.Pengantar Psikologi Lingkungan.Jakarta.Gunadarma.

Pengertian Teritorialitas

Holahan (dalam Iskandar, 1990), mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan cirri pemiliknya dan pertahanan dari serangan orang lain. Degan demikian menurut Altman (1975) penghuni tempat tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar, atau merupakan suatu territorial primer.
Menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari territorialitas, yaitu :
1. Kepemilikan atau hak dari suatu tempat
2. Personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu
3. Hak untuk mempertahankan diri dari ganggunan luar
4. Pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasra psikologis sampai kepada kepuasan  kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika.


Menurut Altman membagi teritorialitas menjadi 3, yaitu;
1. teritorialitas primer
teori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. pelanggaran terhadap teritori utama ini akan mengangkibatkan timbulnya perlawanan dari pemiliknya dan ketidakmampuan untuk mempertahankan teritori utama ini akan mengakibatkan masalah yang serius terhadap aspek psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan indentitasnya. Yang termasuk dalam teritorial ini adalah ruang kerja, ruang tidur, pekarangan, wilayah negara, dan sebagainya.


2. terotorial sekunder
teritori ini lebih longgar pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Teritori ini dapat digunakan oleh orang lain yang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan kepada kelompok itu. Sifatnya adalah semi-publik.. Yang termasuk dalam teritorial ini adalah sirkulasi lalu lintas di dalam kantor, toilet, zona servis, dan sebagainya,


3. teritorial umum
digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan aturan yang lazim di dalam masyrakat dimana teritorial umum itu berada.Contohnya taman kota, tempat duduk dalam bis kota, gedung bioskop, ruang kuliah, dan sebagainya.


sumber : 
Prabowo, hendro.1998.Pengantar Psikologi Lingkungan.Jakarta.Gunadarma.

Personal Space (ruang personal)

Personal Space dengan Perbedaan BUdaya

Menurut Hall norma dan adat istiadat dari kelompok budaya dan etnik yang berbeda akan tercermin dari penggunaan ruangnya, seperti susunan perabot, konfigurasi tempat tinggal dan orientasi yang dijaga oleh individu yang satu dengan individu yang lainnya. Hall menggambarkan bagaimana anggota dari bermacam-macam kelompok budaya tersebut memiliki kebiasaan spasial yang berbeda. Orang Jerman lebih sensitif terhadap gangguan , memilik gelembung ruang personal lebih besar , dan lebih khawatir akan pemisahan fisik ketimbang orang Amerika. Sementara itu orang Inggris merupakan orang-orang pribadi. Akan tetapi mereka mengatur jarak psikologis dengan orang lain dengan menggunakan sarana-sarana verbal dan non-verbal dibandingkan sarana fisik atau lingkungan.


Prabowo, hendro.1998.Pengantar Psikologi Lingkungan.Jakarta.Gunadarma.

Personal Space (ruang personal)

Istilah personal space pertama kali digunakan oleh Katz pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi, dan arsitektur (Yusuf, 1991).


Menurut Sommer Ruang personal adalah daerah disekeliling seseorang dengan batas – batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya.


Menurut Goffman menggambarkan ruang personal sebagai jarak/daerah di sekitar individu dimana jika dimasuki orang lain, menyebabkan ia akan merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang – kadang menarik diri.


Beberapa definisi ruang personal secara implicit berdasrkan hasil – hasil penelitian, antara lain :
a. Ruang personal adalah batas – batas yang tidak jelas antara seseorang dengan orang lain.
b. Ruang personal sesungguhnya berdekatan dengan diri sendiri.
c. Pengaturan ruang personal merupakan proses dinamis yang memungkinkan diri kita keluar darinya sebagai suatu perubahan situasi.
d. Ketika seseorang melanggar ruang personal orang lain, maka dapat berakibat kecemasan, stress, dan bahkan perkelahian.
e. Ruang personal berhubungan secara langsung dengan jarak – jarak antar manusia, walaupun ada tiga orientasi dari orang lain ; berhadapan, saling membelakangi dan searah.



Menurut Edward T. Hall seorang antropolog, bahwa dalam interaksi social terdapat empat zona spasial yang disebut Zona Interaksi Sosial meliputi : jarak intim, jarak personal, jarak social, dan jarak public.

1. Jarak Intim
• Jarak yang dekat/akrab atau keakraban dengan jarak 0 – 18 inci.
• Pada jarak 0 – 6 inci, kontak fisik merupakan hal yang penting.
• Jarak yang diperuntukkan pada “intimate lovers”
• Menyenangkan ketika berinteraksi dengan orang lain yang dicintai, tidcak menyenangkan dalam situasi yang lain.

2. Jarak Pribadi
• Karakteristik keregangan yang biasa dipakai individu satu sama lain.
• Jarak antara 1,5 – 4 kaki
• Fase dekat (1,5 – 2,5 kaki) dan fase jauh (2,5 – 4 kaki)
• Fase dekat : masih memungkinkan pertukaran sentuhan, bau, pandangan, dan isyarat – isyarat lainnya.
• Fase jauh : jarak dimana masing – masing orang dapat saling menyentuh dengan mengulurkan tangan. Komunikasi halus (fine grain communication) masih dapat diamati.
• Transisi antara kontak intim dengan tingkah laku umum yang agak formal.

3. Jarak Sosial
• Jarak 4 – 12 kaki
• Jarak yang memungkinkan terjadinya kontak social yang umum, seperti hubungan bisnis.
• Fase dekat (4 – 7 kaki)
• Fase jauh (7 – 12 kaki)

4. Zona Publik
• Jarak 12 – 25 kaki
• Isyarat – isyarat komunikasi sedikit
• Situasi formal atau pembicaraan umum / orang – orang yang berstatus lebih tinggi.
Dari beberapa penjelasan di atas mengenai keadaan kereta api yang tak kunjung sepi maupun membuat kita nyaman dalam menggunakannya. Mau tidak mau kita gunakan sehari- hari untuk memulai aktifitas ke tempat yang menjadi tujuan kita, walaupun harus berdesakan untuk dapat terangkut oleh kereta tersebut.



Prabowo, hendro.1998.Pengantar Psikologi Lingkungan.Jakarta.Gunadarma.
Istilah personal space pertama kali digunakan oleh Katz pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi, dan arsitektur (Yusuf, 1991).


Menurut Sommer Ruang personal adalah daerah disekeliling seseorang dengan batas – batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya.


Menurut Goffman menggambarkan ruang personal sebagai jarak/daerah di sekitar individu dimana jika dimasuki orang lain, menyebabkan ia akan merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang – kadang menarik diri.


Beberapa definisi ruang personal secara implicit berdasrkan hasil – hasil penelitian, antara lain :
a. Ruang personal adalah batas – batas yang tidak jelas antara seseorang dengan orang lain.
b. Ruang personal sesungguhnya berdekatan dengan diri sendiri.
c. Pengaturan ruang personal merupakan proses dinamis yang memungkinkan diri kita keluar darinya sebagai suatu perubahan situasi.
d. Ketika seseorang melanggar ruang personal orang lain, maka dapat berakibat kecemasan, stress, dan bahkan perkelahian.
e. Ruang personal berhubungan secara langsung dengan jarak – jarak antar manusia, walaupun ada tiga orientasi dari orang lain ; berhadapan, saling membelakangi dan searah.



Menurut Edward T. Hall seorang antropolog, bahwa dalam interaksi social terdapat empat zona spasial yang disebut Zona Interaksi Sosial meliputi : jarak intim, jarak personal, jarak social, dan jarak public.

1. Jarak Intim
• Jarak yang dekat/akrab atau keakraban dengan jarak 0 – 18 inci.
• Pada jarak 0 – 6 inci, kontak fisik merupakan hal yang penting.
• Jarak yang diperuntukkan pada “intimate lovers”
• Menyenangkan ketika berinteraksi dengan orang lain yang dicintai, tidcak menyenangkan dalam situasi yang lain.

2. Jarak Pribadi
• Karakteristik keregangan yang biasa dipakai individu satu sama lain.
• Jarak antara 1,5 – 4 kaki
• Fase dekat (1,5 – 2,5 kaki) dan fase jauh (2,5 – 4 kaki)
• Fase dekat : masih memungkinkan pertukaran sentuhan, bau, pandangan, dan isyarat – isyarat lainnya.
• Fase jauh : jarak dimana masing – masing orang dapat saling menyentuh dengan mengulurkan tangan. Komunikasi halus (fine grain communication) masih dapat diamati.
• Transisi antara kontak intim dengan tingkah laku umum yang agak formal.

3. Jarak Sosial
• Jarak 4 – 12 kaki
• Jarak yang memungkinkan terjadinya kontak social yang umum, seperti hubungan bisnis.
• Fase dekat (4 – 7 kaki)
• Fase jauh (7 – 12 kaki)

4. Zona Publik
• Jarak 12 – 25 kaki
• Isyarat – isyarat komunikasi sedikit
• Situasi formal atau pembicaraan umum / orang – orang yang berstatus lebih tinggi.
Dari beberapa penjelasan di atas mengenai keadaan kereta api yang tak kunjung sepi maupun membuat kita nyaman dalam menggunakannya. Mau tidak mau kita gunakan sehari- hari untuk memulai aktifitas ke tempat yang menjadi tujuan kita, walaupun harus berdesakan untuk dapat terangkut oleh kereta tersebut.



Prabowo, hendro.1998.Pengantar Psikologi Lingkungan.Jakarta.Gunadarma.

Pengertian Kesesakan

Kesesakan merupakan fenomena yang akan menimbulkan permasalahan bagi setiap negara didunia dimasa yang akan datang. Hal ini dikarenakan terbatasnya luas bumi dan potensi sumbar daya alam yang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia, sementara perkembangan jumlah manusia di dunia tidak terbatas.
Kesesakan timbul dari perkembangan jumlah manusia di dunia pada masa kini telah menimbulkan berbagai masalah sosial dibanyak negara(mis: Indonesia, Cina, India dan sebagainya), baik permasalahan yang bersifat fisik maupun psikologis. Dalam perspektif Psikologis dari kesesakan adalah semakin banyaknya orang yang mengalami stres dan berperilaku agresif destrukif.



2. PENYEBAB PENDUDUK DUNIA MAKIN PADAT
Masalah kepadatan penduduk disebabkan akibat menurunnya tingkat kematian dengan tanpa disertai menurunnya tingkat kesuburan. Umumnya dinegara-negara berkembang sudah mampu menurunkan tingkat kesuburan, sedangkan dinegara-negara yang sedang berkembang belum mampu menurunkan tingkat kematian dan kesuburan.
Ada alasan-alasan tertentu mengapa tingkat pertambahan penduduk di negara yang sedang berkembang itu tetap tinggi. Beberapa pendapat yang diperkuat oleh hasil penelitian mengungkapkan bahwa tingkat pertambahan penduduk yang tinggi tersebut antara lain disebabkan oleh :
1. Kesuburan yang tinggi merupakan jawaban terhadap kematian yang tinggi untuk mempertahankan kelangsungan hidup keluarga bangsa dan agama.
2. Dinegara-negara yang sedang berkembang , anak adalah kekayaan orang tua karena merupakan jaminan sosial, ekonomi, dan emosi dihari tua.
3. Dinegara berkembang, perkawainan pada usia remaja sering dilakukan, terutama di desa-desa.
4. Para orang tua dan mertua selalu mengharapkan perkawinan anaknya segera dikaruniani anak.
5. Menurut Masri Singarimbun(1977), para orang tua di Sunda dan Jawa, baik di desa maupun dikota mempunyai konsep yang sama tentang besarnya keluarga ideal. Keluarga ideal tersebut terdiri dari suami, istri, dan 4 orang anak.

3. TEORI KESESAKAN
Kepadatan memang mengakibatkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Ada 3 konsep yang menjelaskan terjadinya kesesakan, yaitu teori information overload, teori behavioral constraint, teori ecological model (Stocols dalam Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Jain;1987). Ketiga konsep tersebut menjelaskan hubungan kepadatan fisik dengan kesesakan. Semakin padat suatu kawasan semakin banyak informasi yang melintas dihadapan penghuni adalah dinamika yang tidak terhindarkan, bila informasi tersebut melampaui batas kemampuan penerimaannya , maka timbulah maslah psikologis.
Semakin banyak penduduk dalam wilayah yang terbatas juga bisa menyebabkan adanya constrain bagi individu. Konsep ini berkaitan dengan konsep ekologi. Ketika daya dukung wilayah tidak mencukupi maka lingkungan alam dan sosial akan saling terkait dalam menimbulkan masalah( Sulistyani et al., 1993).
Dalam suasana sesak dan padat, kondisi psikologis negatif mudah timbul sehingga memunculkan stres dan bernagai macam aktivitas sosial negatif( Wrightsman dan Deaux,1981). Bentuk aktivitas tersebut antara lain : 1) munculnya bermacam-macam penyakit fisik dan psikologis, stres, tekanan darah meningkat, psikosomatis dan gangguan jiwa;
2)  munculnya patologi sosial seperti kejahatan dan kenakalan remaja;
3)  munculnya tingkah laku sosial yang negatif, seperti agresi, menarik diri, prososial, dan kecenderungan berprasangka;
4)  menurunya prestasi kerja.

Teori 2 Kesesakan :
1.     Teori Beban Stimulus
Kesesakan akan terjadi bila stimulus yang diterima individu terlalu banyak (melebihi kapasitas kognitifnya) sehingga timbul kegagalan dalam memproses stimulus atau info dari lingkungan.
Menurut Keating, Stimulus adalah hadirnya banyak orang dan aspek-aspek interaksinya, kondisi lingkunga fisik yang menyebabkan kepadatan social. Informasi yang berlebihan dapat terjadi karena :
a. Kondisi lingkungan fisik yang tidak menyenangkan
b. Jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat
c. Suatu percakapan yang tidak dikehendaki
d. Terlalu banyak mitra interaksi
e. Interaksi yang terjadi dirasa terlalu dalam atau terlalu lama

2. Teori Ekologi
Membahas kesesakan dari sudut proses social
a.     Menurut Micklin :
Sifat-sifat umum model pada ekologi manusia :
1. Teori ekologi perilaku : Fokus pada hubungan timbale balik antara manusia dan lingkungan.
2. Unit analisisnya : Kelompok social, bukan individu dan organisasi social memegang peranan penting
3. Menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial
b. Menurut Wicker :
Teori Manning : Kesesakan tidak dapat dipisahkan dari factor setting dimana hal itu terjadi.

3. Teori Kendala Perilaku
Kesesakan terjadi karena adanya kepadatan sedemikian rupa sehingga individu merasa terhambat untuk melakukan sesuatu.Kesesakan akan terjadi bila system regulasi privasi seseorang tidak berjalan secara efektif lebih banyak kontak social yang tidak diinginkan. Kesesakan timbul karena ada usaha-usaha yang terlalu banyak, yang butuh energy fisik maupun psikis, guna mengatur tingkat interaksi yang diinginkan.

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesesakan
1. Faktor Personal
a. Kontrol Pribadi dan Locus Of Control; Selligman, dkk :
Kepadatan meningkat bias menghasilkan kesesakan bila individu sudah tidak punya control terhadap lingkungan sekitarnya. Control pribadi dapat mengurangi kesesakan. Locus Of Control ibternal : Kecendrungan individu untuk mempercayai (atau tidak mempercayai) bahwa keadaab yang ada di dalam dirinya lah yang berpengaruh kedalam kehidupannya.

b. Budaya, pengalaman dan proses adaptasi
Menurut Sundstrom : Pengalaman pribadi dalam kondisi padat mempengaruhi tingkat toleransi.
Menurut Yusuf : Kepadatan meningkat menyebabkan timbulnya kreatifitas sebagai intervensi atau upaya menekankan perasaan sesak.

c. Jenis kelamin dan usia
Pria lebih reaktif terhadap kondisi sesak
Perkembangan, gejala reaktif terhadap kesesakan timbul pada individu usia muda.

2. Faktor Sosial
a. Kehadiran dan perilaku orang lain
b. Formasi koalisi
c. Kualitas hubungan
d. Informasi yang tersedia

3. Faktor Fisik
- Goves dan Hughes : Kesesakan didalamnya rumah berhubungan dengan factor-faktor fisik, jenis rumah, urutan lantai, ukuran, suasan sekitar.
- Altman dan Bell, dkk : Suara gaduh,panas, polusi, sifat lingkungan, tipe suasana, karakteristik setting mempengaruhi kesesakan.



Prabowo, hendro.1998.Pengantar Psikologi Lingkungan.Jakarta.Gunadarma.